Kamis, 31 Oktober 2019

4 Kebudayaan Suku Jawa Komplit



Suku Jawa tak dinisbatkan terhadap segala penduduk pribumi penghuni pulau Jawa. Di pulau Jawa sendiri terdapat sebagian suku bangsa lain kecuali suku Jawa. Sebutan bagi suku Jawa lebih identik bagi masyarakat yang mengendalikan teguh filosofis atau pandangan hidup Kejawen. Secara geografis mencakup Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur. Jawa Timur bahkan juga masih varian sebab di dalamnya masih ada suku Madura, suku Tengger ataupun Suku Osing di Banyuwangi. Kebudayaan suku Jawa yaitu hasil dari peninggalan sejarah kerajaan besar Jawa terutamanya Majapahit dan Mataram Baru.

Filosofis hidup suku Jawa yang paling dasar betul-betul diberi pengaruh oleh kebudayaan Hindu, Budha dan juga kepercayaan animisme-dinamisme. Orang jawa pada lazimnya betul-betul menjunjung tinggi keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidup bagus kepada sesama manusia ataupun dengan lingkungan alam. Dalam akhlak keseharian betul-betul mengedepankan etika kesopanan, kesantunan dan kesederhanaan. Oleh karena itu, dialog bahasa Jawa mempunyai sebagian jenjang bahasa cocok dengan lawan bicara yang dihadapi. Untuk lebih jelasnya, inilah sebagian hal yang menampilkan identitas kebudayaan suku Jawa :


1. Filosofis Hidup
Orang jawa pada dasarnya mempunyai banyak sekali filsafat hidup yang diciptakan sebagai pertanda bermasyarakat. Tapi terdapat tujuh filosofis dasar yang setidak-tidaknya membuktikan perilaku kebiasaan suku Jawa, yakni :

Urip iku urup, (hidup itu menyala), maknanya yaitu bahwa hidup sebagai manusia haruslah mempunyai manfaat bagi manusia lain dan lingkungan alam sekitar.
Ojo Keminter Mengko Keblinger, Ojo Cidro Mundak Ciloko, (jangan menjadi orang yang jumawa dengan kepandaian dan jangan menyakiti orang supaya tak dicelakai), maknanya hidup haruslah rendah hati dan senantiasa sportif.
Ojo Ketungkul Marang Jenenge Kalenggahan, Kadunyan lan Kemareman, (jangan menjadi orang yang cuma mengejar jabatan, harta dan kenyamanan), maknanya jangan terlalu mengutamakan jabatan/pangkat, harta dan kenikmatan dunia.
Wong Jowo Kuwi Mudah Ditekak-tekuk, (orang jawa itu gampang untuk diberi tuntunan), maknanya bahwa orang Jawa itu gampang untuk menyesuaikan diri dengan beragam kondisi lingkungan.
Memayu Hayuning ing Bawana, Ambrasta dur Hangkara (membangun kebaikan dan mencegah kemungkaran), maknanya yaitu hidup didunia wajib banyak-banyak membangun atau memberi kebaikan dan memberantas sikap angkara marah.
Mangan ora mangan sing penting kumpul (kebersamaan wajib diutamakan), maknanya yaitu bahwa kebersamaan dan gotong royong itu lebih penting dari yang selainnya.
Nrimo Ing Pandum, (mendapatkan pemberian dari yang kuasa), maknanya yaitu wajib senantiasa berterima kasih kepada apa yang telah dimiliki dan diberi oleh Ilahi.
2. Ajaran Kejawen
Kejawen bagi masyarakat Jawa orisinil telah hampir menjadi seperti agama tersendiri. Ajaran kejawen pada dasarnya yaitu kompilasi dari seni, kebiasaan, adat ritual, sikap sosial, serta beragam pandangan filosofi masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa yang masih mengendalikan teguh ajaran orisinil kejawen, panutan ajaran ini menjadi poin spiritualitas tersendiri. Masyarakat Jawa banyak mempunyai kitab kejawen yang diubahsuaikan dari kitab-kitab karya para Mpu pada masa kerajaan Jawa.

Syekh Siti Jenar yang tenar dengan konsep gagasan ‘manunggaling kawula lan gusti’, yaitu salah satu tokoh yang tak bisa dilepaskan dari munculnya ajaran kejawen. Sebagai inti ajaran, kejawen mengajari manusia pada apa yang disebut ‘Sangkan Paraning Dumadhi’ (kembali terhadap sang pencipta). Kemudian menyusun dan menasehati manusia untuk cocok dengan Tuhannya (manunggaling kawula lan gusti). Bahwa tiap-tiap manusia wajib berbuat cocok dengan perbuatan dan sifat Ilahi.

Untuk menempuh tujuan hal yang demikian karenanya orang Jawa lazim mengerjakan ’laku’ atau perbuatan untuk menyusun pribadi yang cocok dengan Ilahi. Diantaranya yaitu dengan mengerjakan ‘pasa’ atau berpuasa dan juga ‘tapa’ atau mengerjakan pertapaan. Disinilah letak kejawen sebagai format spiritualitas suku Jawa.


3. Wayang Kulit
Wayang kulit yaitu salah satu kebudayaan suku Jawa yang cukup khas. Wayang sendiri berasal dari kata ‘ayang-ayang´ yang artinya yaitu bayang-bayang (baca juga : sejarah wayang kulit). Wayang kulit Jawa mempunyai perbedaan dengan wayang golek Sunda (baca : sejarah wayang golek). Bagi suku Jawa, cerita pewayangan senantiasa membuktikan format kehidupan manusia di dunia, ialah peperangan kepada angkara marah dan pengorbanan untuk membangun kebaikan. Melainkan itu cocok dengan prinsip filosofis hidup yang senantiasa diatur teguh oleh orang Jawa.

Permainan kesenian wayang kulit mulai tersebar luas saat para wali songo tak jarang mengaplikasikan wayang kulit sebagai media dakwah Islam. Pada lazimnya cerita dan penokohan pada kesenian wayang kulit diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Tapi dalam versi pewayangan Jawa, cerita hal yang demikian telah banyak dijalankan perubahan. Wayang purwa sebutan lain bagi wayang kulit lazim dimainkan oleh seorang narator yang disebut dalang. Dalang ini bertugas untuk mengontrol jalannya cerita dan memainkan gerak para tokoh wayang kulit.

Kuasa mempunyai faktor kesenian, wayang kulit juga diandalkan oleh orang Jawa mempunyai poin magis tersendiri. Pagelaran wayang kulit diandalkan kapabel mendatangkan energi-energi magis dari arwah leluhur maupun energi magis yang berasal dari Ilahi. Kecuali dari itu pagelaran wayang kulit yaitu media utama saat orang Jawa mengerjakan ruwatan. Ruwatan yaitu format acara atau upacara untuk buang ‘bala’ (kesusahan dan kesialan). Dengan diruwat orang Jawa mau kehidupannya dapat keluar dari semua kesusahan dan musibah.

4. Keris
Keris yaitu senjata tradisional suku Jawa. Keris sendiri kecuali sebagai senjata tradisional suku Jawa juga menjadi lambang kedaulatan sebagian raja-raja di kerajaan luar Jawa. Bagi orang Jawa, keris tidaklah sesimpel cuma merupaka senjata saja. Lebih dari itu, keris yaitu senjata pusaka yang diyakini oleh sebagai orang mempunyai atau menaruh kesaktian. Oleh karena itu keris disebut juga sebagai ‘tosan aji’ (alat yang mempunyai kesaktian).

Dalam sebagian legenda sejarah terdapat sebagian keris yang dianggap seperti itu istimewa. Keris Mpu Gandring yang direbut oleh Ken Arok, kapabel menghasilkan Ken Arok sebagai penguasa kerajaan Singasari. Keris Nagasasra dan keris sabuk Inten yang tenar dari kerajaan Demak. Keris Sunan Kudus yang disebut ‘sunan kober’ dan yaitu senjata pamungkas dari Arya Penangsang juga sudah kapabel memberikan kekuasaan.

Sebagai ‘tosan aji’, keris seperti itu betul-betul dipercayai kesaktiannya sebab progres pembuatannya yang dijalankan oleh para Mpu (sebutan bagi pembuat keris) selalu diiringi dengan laku spiritualitas seperti puasa dan bertapa. Kuasa kecakapan meracik mutu bahan material, para Mpu juga memasukkan beragam mantra dan do’a pada keris yang dibuatnya.  jumlah ‘luk’ (lekukan) yang ada pada keris menaruh makna kesaktian yang tersembunyi.


Pelajari juga senjata tradisional suku lain dalam tulisan : Kebudayaan Suku Baduy, Kebudayaan Nanggroe Aceh Darussalam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar