Suku Jawa tak dinisbatkan
terhadap segala penduduk pribumi penghuni pulau Jawa. Di pulau Jawa sendiri
terdapat sebagian suku bangsa lain kecuali suku Jawa. Sebutan bagi suku Jawa
lebih identik bagi masyarakat yang mengendalikan teguh filosofis atau pandangan
hidup Kejawen. Secara geografis mencakup Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa
Timur. Jawa Timur bahkan juga masih varian sebab di dalamnya masih ada suku
Madura, suku Tengger ataupun Suku Osing di Banyuwangi. Kebudayaan suku Jawa
yaitu hasil dari peninggalan sejarah kerajaan besar Jawa terutamanya Majapahit
dan Mataram Baru.
Filosofis hidup suku Jawa yang
paling dasar betul-betul diberi pengaruh oleh kebudayaan Hindu, Budha dan juga
kepercayaan animisme-dinamisme. Orang jawa pada lazimnya betul-betul menjunjung
tinggi keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidup bagus kepada sesama
manusia ataupun dengan lingkungan alam. Dalam akhlak keseharian betul-betul
mengedepankan etika kesopanan, kesantunan dan kesederhanaan. Oleh karena itu, dialog
bahasa Jawa mempunyai sebagian jenjang bahasa cocok dengan lawan bicara yang
dihadapi. Untuk lebih jelasnya, inilah sebagian hal yang menampilkan identitas
kebudayaan suku Jawa :
1. Filosofis Hidup
Orang jawa pada dasarnya
mempunyai banyak sekali filsafat hidup yang diciptakan sebagai pertanda
bermasyarakat. Tapi terdapat tujuh filosofis dasar yang setidak-tidaknya
membuktikan perilaku kebiasaan suku Jawa, yakni :
Urip iku urup, (hidup itu
menyala), maknanya yaitu bahwa hidup sebagai manusia haruslah mempunyai manfaat
bagi manusia lain dan lingkungan alam sekitar.
Ojo Keminter Mengko Keblinger,
Ojo Cidro Mundak Ciloko, (jangan menjadi orang yang jumawa dengan kepandaian
dan jangan menyakiti orang supaya tak dicelakai), maknanya hidup haruslah
rendah hati dan senantiasa sportif.
Ojo Ketungkul Marang Jenenge
Kalenggahan, Kadunyan lan Kemareman, (jangan menjadi orang yang cuma mengejar
jabatan, harta dan kenyamanan), maknanya jangan terlalu mengutamakan
jabatan/pangkat, harta dan kenikmatan dunia.
Wong Jowo Kuwi Mudah
Ditekak-tekuk, (orang jawa itu gampang untuk diberi tuntunan), maknanya bahwa
orang Jawa itu gampang untuk menyesuaikan diri dengan beragam kondisi
lingkungan.
Memayu Hayuning ing Bawana,
Ambrasta dur Hangkara (membangun kebaikan dan mencegah kemungkaran), maknanya
yaitu hidup didunia wajib banyak-banyak membangun atau memberi kebaikan dan
memberantas sikap angkara marah.
Mangan ora mangan sing penting
kumpul (kebersamaan wajib diutamakan), maknanya yaitu bahwa kebersamaan dan
gotong royong itu lebih penting dari yang selainnya.
Nrimo Ing Pandum, (mendapatkan
pemberian dari yang kuasa), maknanya yaitu wajib senantiasa berterima kasih
kepada apa yang telah dimiliki dan diberi oleh Ilahi.
2. Ajaran Kejawen
Kejawen bagi masyarakat Jawa
orisinil telah hampir menjadi seperti agama tersendiri. Ajaran kejawen pada
dasarnya yaitu kompilasi dari seni, kebiasaan, adat ritual, sikap sosial, serta
beragam pandangan filosofi masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa yang masih
mengendalikan teguh ajaran orisinil kejawen, panutan ajaran ini menjadi poin
spiritualitas tersendiri. Masyarakat Jawa banyak mempunyai kitab kejawen yang
diubahsuaikan dari kitab-kitab karya para Mpu pada masa kerajaan Jawa.
Syekh Siti Jenar yang tenar
dengan konsep gagasan ‘manunggaling kawula lan gusti’, yaitu salah satu tokoh
yang tak bisa dilepaskan dari munculnya ajaran kejawen. Sebagai inti ajaran,
kejawen mengajari manusia pada apa yang disebut ‘Sangkan Paraning Dumadhi’
(kembali terhadap sang pencipta). Kemudian menyusun dan menasehati manusia
untuk cocok dengan Tuhannya (manunggaling kawula lan gusti). Bahwa tiap-tiap
manusia wajib berbuat cocok dengan perbuatan dan sifat Ilahi.
Untuk menempuh tujuan hal yang
demikian karenanya orang Jawa lazim mengerjakan ’laku’ atau perbuatan untuk
menyusun pribadi yang cocok dengan Ilahi. Diantaranya yaitu dengan mengerjakan
‘pasa’ atau berpuasa dan juga ‘tapa’ atau mengerjakan pertapaan. Disinilah
letak kejawen sebagai format spiritualitas suku Jawa.
3. Wayang Kulit
Wayang kulit yaitu salah satu
kebudayaan suku Jawa yang cukup khas. Wayang sendiri berasal dari kata
‘ayang-ayang´ yang artinya yaitu bayang-bayang (baca juga : sejarah wayang
kulit). Wayang kulit Jawa mempunyai perbedaan dengan wayang golek Sunda (baca :
sejarah wayang golek). Bagi suku Jawa, cerita pewayangan senantiasa membuktikan
format kehidupan manusia di dunia, ialah peperangan kepada angkara marah dan
pengorbanan untuk membangun kebaikan. Melainkan itu cocok dengan prinsip
filosofis hidup yang senantiasa diatur teguh oleh orang Jawa.
Permainan kesenian wayang kulit
mulai tersebar luas saat para wali songo tak jarang mengaplikasikan wayang
kulit sebagai media dakwah Islam. Pada lazimnya cerita dan penokohan pada
kesenian wayang kulit diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Tapi dalam
versi pewayangan Jawa, cerita hal yang demikian telah banyak dijalankan
perubahan. Wayang purwa sebutan lain bagi wayang kulit lazim dimainkan oleh
seorang narator yang disebut dalang. Dalang ini bertugas untuk mengontrol
jalannya cerita dan memainkan gerak para tokoh wayang kulit.
Kuasa mempunyai faktor kesenian,
wayang kulit juga diandalkan oleh orang Jawa mempunyai poin magis tersendiri.
Pagelaran wayang kulit diandalkan kapabel mendatangkan energi-energi magis dari
arwah leluhur maupun energi magis yang berasal dari Ilahi. Kecuali dari itu
pagelaran wayang kulit yaitu media utama saat orang Jawa mengerjakan ruwatan.
Ruwatan yaitu format acara atau upacara untuk buang ‘bala’ (kesusahan dan
kesialan). Dengan diruwat orang Jawa mau kehidupannya dapat keluar dari semua
kesusahan dan musibah.
4. Keris
Keris yaitu senjata tradisional
suku Jawa. Keris sendiri kecuali sebagai senjata tradisional suku Jawa juga
menjadi lambang kedaulatan sebagian raja-raja di kerajaan luar Jawa. Bagi orang
Jawa, keris tidaklah sesimpel cuma merupaka senjata saja. Lebih dari itu, keris
yaitu senjata pusaka yang diyakini oleh sebagai orang mempunyai atau menaruh
kesaktian. Oleh karena itu keris disebut juga sebagai ‘tosan aji’ (alat yang
mempunyai kesaktian).
Dalam sebagian legenda sejarah
terdapat sebagian keris yang dianggap seperti itu istimewa. Keris Mpu Gandring
yang direbut oleh Ken Arok, kapabel menghasilkan Ken Arok sebagai penguasa
kerajaan Singasari. Keris Nagasasra dan keris sabuk Inten yang tenar dari kerajaan
Demak. Keris Sunan Kudus yang disebut ‘sunan kober’ dan yaitu senjata pamungkas
dari Arya Penangsang juga sudah kapabel memberikan kekuasaan.
Sebagai ‘tosan aji’, keris
seperti itu betul-betul dipercayai kesaktiannya sebab progres pembuatannya yang
dijalankan oleh para Mpu (sebutan bagi pembuat keris) selalu diiringi dengan
laku spiritualitas seperti puasa dan bertapa. Kuasa kecakapan meracik mutu
bahan material, para Mpu juga memasukkan beragam mantra dan do’a pada keris
yang dibuatnya. jumlah ‘luk’ (lekukan)
yang ada pada keris menaruh makna kesaktian yang tersembunyi.
Pelajari juga senjata tradisional
suku lain dalam tulisan : Kebudayaan Suku Baduy, Kebudayaan Nanggroe Aceh
Darussalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar